Selama beberapa waktu vakum dari Facebook, ada sejumlah teman yang tetap terkoneksi dengan saya. Beberapa di antara mereka membawa kasus yang unik.
Ada teman yang setelah sekian waktu menjalani pernikahan poligami (tanpa ia tahu bahwa diam-diam, di belakangnya, sang suami telah menikah lagi dengan perempuan yang berusia jauh lebih muda, bahkan perempuan itu adalah mantan mahasiswinya) bercerita bahwa ia akhirnya ditalak oleh sang suami.
Di satu sisi saya sedih mendengar kabar ini. Tapi di sisi lain, saya juga lega. Mengingat drama dalam pernikahan poligami yang mereka lakukan sangat menguras emosi dan air mata. Si ibu yang selalu bimbang untuk mengajukan cerai, akhirnya malah mendapat momentum untuk benar-benar memantapkan diri berpisah dari suaminya.
Pada suatu dini hari, ibu ini mengakhiri berbulan-bulan sesi curhat kami dengan sebaris WA: “Mbak, akhirnya suami juga menalak istri keduanya. Saya sudah mantap pisah. Semoga kehidupan selanjutnya bersama anak-anak membuat saya lebih tenang..”
Ada juga ibu yang dengan galau dan berurai air mata, bercerita betapa sakit hatinya saat mengetahui bahwa anak yang sedang ia kandung berjenis kelamin laki-laki lagi.
Ia merasa tidak bisa mencintai bayi dalam kandungannya. Putus harapan, karena dari target dua anak yang ia miliki, keduanya berjenis kelamin laki-laki.
Saya teringat teman yang pernah berkunjung ke rumah dan menyaksikan betapa hebohnya aksi anak-anak lelaki saya, dia bertanya: “Waktu si bungsu lahir, kamu nangis nggak?”
Saya masih tidak bisa menangkap maksud pertanyaannya. Saya mengira, menangis di sini adalah menangis bahagia. Ternyata bukan. Menangis yang ia maksud adalah tangis penyesalan seperti yang pernah terjadi padanya, enam tahun silam.
“Waktu hamil anakku yang ketiga, aku yakin banget dia bakalan cewek. Tiap USG aku nggak mau tanya ke dokter. Biar surprise. Begitu lahir, ternyata cowok lagi. Tahu nggak, aku sampe melengos nggak mau lihat. Saking sakitnya hatiku…” kata teman saya yang kebetulan bernasib sama dengan saya: punya tiga anak lelaki semua.
Bagi ibu lain, mungkin mengoleksi anak lelaki adalah hal yang biasa. Tapi tidak semua ibu bisa menerima ini dengan lapang dada.
Untuk pengalaman memiliki anak yang semuanya lelaki dan kiat agar tidak sedih jika tertakdirkan anak kita lelaki (lagi) insya Allah saya tulis di lain waktu.
Nah, dari semua cerita kawan-kawan ini, ada satu yang sangat meremukkan hati saya.
Tentang seorang ibu yang bertanya: “Mbak, bagaimana kalau bayi saya nanti lahir, saya berikan ke sepupu? Dia janji mau merawat dengan baik. Saya tidak sanggup merawat bayi ini, mbak..”
Sepintas pertanyaan ini terdengar begitu memancing emosi. Dikira bayi itu hadir begitu saja? Mengapa kamu senang-senang saja waktu berikhtiar, namun saat menjadi janin justru ingin membuangnya?
Tapi setelah kami texting cukup lama, saya jadi sangat tersentuh. Betapa si ibu ini sebenarnya tidak ingin memberikan bayi ini kepada siapa pun. Betapa ia ingin diberi keleluasaan tenaga, waktu, dan emosi untuk membesarkan anak-anaknya.
Ibu ini cerita bahwa ia tidak bisa lepas dari lingkaran setan bernama kekerasan pada anak: anak berulah ➡ ibu naik darah ➡ ibu melakukan kekerasan pada anak ➡ anak menjadi semakin berulah ➡ ibu semakin naik darah, demikian seterusnya.
Ditambah, kondisi batinnya yang kering kerontang dalam kehidupan rumah tangga: sebagai istri merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan keluarga, dalam kehidupan keluarganya ada mertua yang lebih berkuasa, ditambah lagi suami tidak mau terlibat dalam pengasuhan anak dan tidak membantu memulihkan kondisi jiwanya yang penuh tekanan.
Jangankan membantu, memahami pun menurutnya tidak. Setiap ia mengeluhkan kelelahan mentalnya dalam mengasuh anak, suaminya hanya menyodorkan satu kata pamungkas: sabar.
Ah… iya… sabar memang selalu jadi senjata terakhir manusia saat sedang dirundung nestapa. Tapi semestinya sabar ini bukan dilakukan dengan tanpa usaha untuk membantu meringankan kelelahan jiwa raga istrinya.
Dari obrolan kami, saya sangat bisa memahami mengapa ia memilih untuk memberikan bayi yang sedang ia kandung ini, kepada orang lain. Ibu ini sedang berada dalam kegawatan mental, takut mencelakai bayinya jika ia nekad mengasuh dengan kondisi psikis seperti saat ini.
Sayangnya, nomor HP si ibu sudah tidak bisa saya akses lagi, saya kehilangan kontak dengannya, dan tidak tahu apa akun Facebooknya. Sementara hingga kini si ibu tersebut tidak menghubungi saya lagi.
Dear ibu, izinkan melalui tulisan ini saya menceritakan sesuatu yang kemarin belum sempat saya ceritakan pada ibu. Tentang kisah anak-anak yang terbuang. Terpisah dari ibu kandungnya, tanpa nalar kanak-kanak mereka bisa memahami apa yang terjadi.
Semoga jadi hikmah bersama untuk kita ..
(Bersambung)