21 Januari 1999
Hujan. Dingin.
20 menit lewat dari pukul 6. Aku berdiri mematung di sudut sekolah. Mencari sesosok lelaki bermotor supra, berjaket hijau, dan helm putih kebesaran melewatiku di gerbang ini.
Waktu terus berhitung. Hujan tak henti turun. Hanya aku yang berhenti berhitung, pada akhirnya, saat motor itu benar-benar lewat. Dan seperti yang selalu terjadi: ia tidak pernah menyadari keberadaanku.
Kubuntuti dia. Tas ransel yang kupakai kuturunkan setengah pundak. Kurogoh isi di dalamnya, memastikan amplop putih berisi surat yang kutulis malam tadi masih ada di situ. Tidak kebasahan, apalagi hilang.
“Tanggal 21 Januari.” Kata Nanang melaporkan hasil investigasinya padaku, pekan lalu. Nanang adalah teman sekelasnya, dan kepadanya aku bertanya pada tanggal berapakah lelaki itu berulang tahun. “Wes, informasi opo meneh sing mbok butuhke? (Sudah, informasi apa lagi yang kamu butuhkan?”
Aku menggeleng. Tersenyum mantap pada informanku satu itu, dan berjanji pada istirahat pertama nanti akan menraktirnya minum Fanta di koperasi sekolah.
“21 Januari? Berarti kan sebentar lagi..” desisku pada Ne’imah. Hampir seperti bicara pada diriku sendiri.
“Kamu yakin mau kasih dia kado?” Ne’imah Baidani bertanya. Aku menggeleng pelan. “Pasti juga ga akan dia terima..”
“Dan ikhwan nggak kenal ulang tahun..” tambahnya lagi. membuat kepasrahan semakin membungkusku erat.
Sepekan berlalu, dan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk menghadapi ulang tahunnya ini. Sampai tadi malam, aku tergerak begitu saja menulis sepucuk surat. Akan kuberikan padanya, di pagi dia datang ke sekolah.
Kini aku hanya berjarak sekitar lima depa saja darinya. Ia memarkir motor lalu melipat jaket besarnya untuk kemudian ia benamkan di bawah jok.
Suasana sepi. Tidak ada seorang pun berada di kandang motor itu. Aku dipukul kekalutan.
Sekitar tiga langkah darinya, aku berhenti. Sapa..tidak..sapa..tidak..
Ah, kesempatan tidak akan datang lagi setelah seribu hari.
“Assalamu’alaikum, mas Didik..” aku menatap matanya. Kedua tangan kutelungkupkan di dada, seperti yang pernah ia contohkan padaku.
Ia terkejut dengan kedatanganku. Walau akhirnya tetap menjawab salamku, namun aku tahu ia tidak sepenuhnya siap.
“Wa’alaikumsalam.”
Keadaan kembali sunyi. Selain kami, belum ada siswa yang ada atau sekadar melewati kandang motor ini. Ia tampak begitu sibuk dengan jaketnya.
“Jaketnya.. terlalu besar untuk dimasukin situ, mas.” Ujarku hati-hati, sambil menunjuk ke arah jok motor yang tidak bisa terkunci, lantaran hoodie yang ia lipat semaunya, membentuk buntalan besar menyerupai bantal.
Ia mengikuti arah pandanganku, kemudian mengeluarkan lagi jaket itu, melipatnya dengan kikuk. Matanya berputar-putar seolah berfikir, akan dikemanakan jaket basah itu. Sementara untuk dimasukkan ke dalam tas pun tidak mungkin.
“Di situ ada gantungan, mas. Taruh situ saja.” Kataku lagi.
Matanya mengikuti arah telunjukku yang menuding sebuah gantungan panjang di sisi dalam mushola. Ia menuruti saranku dengan segera.
Seharusnya aku meninggalkannya dan masuk kelas. Apa urusanku di situ. Sudah jelas dia tidak ada minat untuk sekadar berbasa basi denganku. Tapi kaki ini laksana terbenam ke dalam cor beton setengah kering. Berat dan enggan melangkah. Mematung di situ, menunggunya, tampaknya sebuah ide yang sangat menyenangkan.
“Mas rumahnya dimana?” aku bertanya riang, setelah membuntutinya masuk ke dalam mushola.
“Stop! perempuan tidak boleh masuk ke sini.” Nada suaranya meninggi. Matanya dingin menatap lantai.
“Kenapa?” Hatiku ciut.
“Ini pintu untuk jamaah laki-laki. Jamaah perempuan lewat pintu belakang situ.” Ia menunjuk ke gerbang utama mushola. Yang di belakang gerbang itu tergelar teras tempat jamaah wanita sholat.
“Baiklah aku tidak masuk.” Jawabku segan. “Aku hanya ingin bertanya, mas rumahnya dimana?” tanyaku lagi, setelah melihat ‘pintu masuk jamaah perempuan’ yang ia tunjuk tadi. Tapi segera kukembalikan pandangku padanya. Ia ternyata punya jenggot tipis yang tampak serasi dengan wajah putih dan bibir merah. Dengan semburat cahaya membentuk sketsa di pipinya, seluruh komposisi yang ada di wajahnya lebih tampak seperti hasil lukisan impresionisme.
“Di daerah Kartasura sini?” diabaikannya rasa penasaranku.
Dia menggeleng pelan. “Bukan.” Jawabnya kalem, lalu berjalan cepat memunggungiku. Pergi, menghilang di balik deretan tembok kelas 2. Tanpa melihat ke arahku lagi.
“Selamat ulang tahun..” Bisikku pelan. Tak akan bisa ia dengar. Amplop yang sudah sejak tadi kugenggam, tak kusadari kini sudah berubah jadi bongkahan tidak beraturan.
****
21 Januari 2019
Hei, kamu.
Sudah 20 tahun berlalu ya, sejak ucapan selamat ulang tahun yang tidak sempat terucapkan itu 😄
Aku tahu kamu pasti tertawa baca ini. Sebegitunyakah? Selalu itu yang kamu bilang, tiap aku bercerita padamu soal kepahitan-kepahitan hidup yang kurasakan gara-gara kamu 😄
Katanya Ikhwan tidak kenal ucapan selamat ulang tahun. Tapi tak apalah ya, aku memberimu doa. Semoga waktu yang akan berjalan memberimu lebih banyak lagi peluang, kedewasaan, pengampunan, juga kasih sayang.
Jangan pernah berhenti menjadi dirimu sendiri.
Kamu : semangatku