Beberapa waktu lalu saya berselancar di explore IG. Biasanya, jika ada gambar menarik saya segera klik untuk kepo.
Saat itu saya klik foto bayi perempuan yang terlihat imut. Ternyata bayi ini adalah anak artis terkenal. Yang mana si artis ini memang cantiknya nggak ada obat.
Tapi saya merasa janggal dengan komentar-komentar di foto itu. Banyak yang menyayangkan jika si bayi tidak secantik ibunya , tidak mewarisi hidung mancung ibunya, tapi justru berhidung pesek seperti ayahnya.
Saya jadi kepo lebih jauh, seperti apa sih ayahnya, yang dituduh mewariskan hidung pesek ini?
Ternyata ga sesadis yang dibilang netizen. Bapak si bayi meski dibilang pesek, tetap serasi jika disandingkan dengan si artis. Ah..netizen..kadang suka kaya saya deh, ketularan drama.
Tapi ternyata ada aja netizen yang usil. Menyebut si bayi mirip mimi peri (untuk yang belum tahu siapa mimi peri, gugling aja ya..)
Duh, apa perlu segitunya banget sih ☹
Coba kita jadi posisi si ibu, dan anak kita jadi bahan ejekan karena fisiknya dinilai kurang wah. Bukan kurang sempurna loh ya, cuma kurang ‘wow’ kira-kira kita sakit hati nggak?
Dan lagi, menurut saya, meski ga mancung, bayi artis itu lucu dan imut. Matanya belo, ekspresinya polos. Saya sama sekali tidak melihat ada wajah mimi peri di situ.
Bullyan terhadap fisik bayi ini, mengingatkan saya pada bullyan yang sama, yang ditujukan netizen pada artis penyanyi, sebut saja A. Mbak A ini centeesss maksimal. Suaranya khas. Saya jadi salah satu penggemar lagu-lagunya.
Mbak A nikah sama artis yang jagoan silat, sebut saja Babang I. Nah, setelah menikah dan memiliki anak, tubuh mbak A nggak seseksi dulu. Biasa lah ya, namanya mamak-mamak habis lahiran, ketutup lemak di sana-sini dan yeah jutaan ibu di muka bumi mengalami ini. Maklum dan wajar.
Tapi berhubung suaminya adalah seorang yang dipandang fisiknya prima, plus ganteng pula, pleeeesss ko ya keliatan sayaaaang banget sama istrinya, kejulidan netizen kaya disiram bensin doong…
Beberapa kali saya lihat mbak A menjawab bullyan netizen dengan santai, hingga akhirnya mulai gerah. Sempat mbak A membuat klarifikasi bahwa ia sedang berdiet, dan yang namanya diet kan ga bisa instan, butuh proses. Sabar.
Tapi ya namanya juga jempol orang banyak, ngetik ya semau-mau mereka aja kan. Hingga kini tetap aja fisik si mbak A ini dikomentarii terus.
Lalu yang terbaru adalah Bowo, seleb tiktok yang jadi artis dadakan akibat ulah fans-nya yang memuja-muja seperti Tuhan.
Saya beberapa kali baca berita soal Bowo, yang bagai dua sisi mata uang. Di satu sisi, ABG kita banyak yang begitu memujanya. Di sisi lain, Bowo tampil sebagai musuh bersama yang oleh karenanya layak dihujat dan dicerca.
Sejujurnya, sejak booming hingga kini diblokir, saya belum sempat mendalami apa itu tiktok. Pernah beberapa kali ingin tahu, tapi selalu saja keslamur aktivitas lain. Setelah sekarang diblokir, saya jadi aga nyesel, kenapa kemarin tidak cari tahu ya…
Sekilas yang saya baca, tiktok ini semacam aplikasi sosial video gitu, yang memungkinkan penggunanya jadi content creator. Maka nggak heran lah ya, jika aplikasi ini banyak dipakai ABG.
Lalu Bowo menjajal aplikasi ini, lalu ia digandrungi, lalu fans-nya membentuk meet and greet, lalu banyak di antara mereka yang kecewa karena Bowo ternyata tidak setampan di layar gadget.
Ndilalah, di foto-foto yang saya lihat, Bowo terlihat berkulit hitam. Lalu netizen menyandingkan fotonya dengan capture tiktokan Bowo yang berkulit sedikit lebih terang.

Saya bisa merasakan kepedihan hati Bowo dan orangtuanya, membaca komentar ini.

Bowo, anak 13 tahun, mendapat body shaming seperti ini.
Mulai dari sinilah aksi bullying terhadap Bowo mulai menggelinding. Saya sempat menengok akun IG anak ini, ya Allah, sedih ya lihat bullyan terhadapnya. Dan hampir semua menyasar fisik loh.
Sungguh kalimat yang ditulis netizen ini menyakitkaaaaan sekali ☹☹
Saat membaca komentar-komentar netizen ini, yang saya pikirkan hanya dua:
1. Bagaimana perasaan orangtuanya jika membaca kalimat bullyan ini?
2. Bagaimana jika Bowo stress, dan memilih jalan yang ekstrim. Dibully orang se Indonesia, nggak bunuh diri aja udah bagus, kawan. Ini anak masih 13 tahun loh. Di usia itu, kita juga pernah alay kan? Masih mending dulu kita ga dikepung sosial media. Coba kalo ada, bisa jadi kita jauh lebih alay ketimbang Bowo.
Pertanyaan batin saya terjawab saat pagi ini melihat rekaman wawancara ibunya Bowo di sebuah acara. Sambil menangis, ia mengutarakan perasaannya. Betapa si ibu takut Bowo akan diserang massa. Hingga si ibu kini memutuskan keluar dari pekerjaannya. Demi menjaga Bowo.
Meski keputusan si ibu langsung disambar dengan komentar nyinyir berikutnya: Ya bagus lah, anaknya dijaga Bu! Biar nggak menghancurkan generasi muda akibat ulahnya.
Iya benar sih, apa yang dilakukan Bowo dan fans-nya memang alay sekali, dan soal menuhankan Bowo itu, sama sekali tidak patut dicontoh.
Tapi apa perlu membully-nya sesadis itu? bahkan sering sekali saya membaca komentar yang menyamakan fisik Bowo dengan alat kelamin hewan.
Ini jahat banget. Sumpah ☹
Tahukah kawan, dikomentari fisik secara negatif, itu rasanya sama sekali tidak enak. Sangat menganggu. Menyerang secara psikis, namun kita tidak berdaya untuk menghalaunya.

Efek body shaming, via: sjsunews.com
Saya baru-baru ini mengalami, meski tidak sebrutal apa yang dialami Bowo.
Ceritanya kami sekeluarga renang di sebuah kolam renang umum, pada suatu pagi. Setelah sekitar satu jam, saya, Kaisar, dan Titan renang (ayahnya tidak ikut karena sedang kurang fit dan oleh karenanya saya titipi Nikisang saja di tepi kolam) kami pun merasa lapar. Ya biasa lah, pagi-pagi, udah keliling kolam renang, pindah kolam dan lompat sana-sini, lapar pun menyergap.
Nah, akhirnya kami mendarat di sebuah warung makan. Hingga tiba saatnya kami ke kasir, pemilik warung ini menyapa saya.
“Mbak Wulan Darmanto, ya?”
Sebenarnya saya kaget juga, bagaimana bisa si mbak mengenali saya? Padahal saat itu saya memakai kacamata karena mata saya pedih sehabis berenang.
“Oooh.. ternyata begini ya wajahnya?”
Si mbak bilang demikian, sambil mengamati saya.
Kami pun ngobrol sebentar, dan segera pulang karena anak-anak sudah ribut minta jalan lagi.
Dari tatapan si mbak tadi, saya sempat membatin: Kayaknya ada yang nggak enak deh.. sempat saya cerita ke suami. Tapi yang namanya laki-laki tentu pantang lah mikir hal yang nggak perlu dipikir.
“Tatapan orang aja kok kamu pikir. Rugi.”
Dijawab seperti itu saya cuma bisa kicep. Salah siapa jadi orang melankolis
Ternyata, rasa tidak enak itu benar terbukti.
Malam harinya, si mbak WA. Setelah basa-basi sedikit, ia pun masuk ke dalam poin pembicaraan.
“Mbak, boleh nggak saya bilang sesuatu? Kalo nggak diucapkan jadi ngganjel nih..”
Saya jawab singkat: “Boleh” (dalam hati deg degan juga, hal penting apa yang mengganjal pikiran mbak ini)
“Mbak mau tahu kesan pertama saya ketika berjumpa dengan mbak Wulan? Kok mbak kelihatan lebih tua ya dari Pak Didik, padahal mbak harusnya lebih muda kan?”
Oke. Sampai di sini, pembaca mungkin akan berkomentar:
“Ah elah, mbak, gitu doang aja dipikirin”
Atau
“Hahaha.. ya faktanya gitu sih? Yang dia bilang itu bener kan?”
Baiklah kawan, taruhlah yang ia katakan adalah sebuah fakta (dan saya memang mengakuinya) namun haruskah fakta yang sebenarnya tidak penting juga untuk dibicarakan, harus dibicarakan secara frontal dan berpotensi melukai perasaan orang lain?
Saya sudah biasa dikatain gendut, tua, dan sebagainya. Dan sebagai manusia biasa yang punya perasaan (yang kadang selo kadang sensitif) saya mengakui: Tidak enak mendapat body shaming seperti ini dari orang lain. Sungguh tidak enak.
Apalagi ini kenal aja engga, tahu-tahu bilang tua dan sebagainya.
Nah, apa itu body shaming? Bisa diartikan bebas sebagai mengomentari kekurangan fisik orang lain.
Contohnya:
“Buset lu gendut banget udah kek badut ancol!”
“Gila itu badan tulang semua, laki lu apa ngga kaya main sama kayu tuh kalo malem?”

Via: siyawoman.com
Saya tahu, komentar ini seringkali meluncur begitu saja. Kalau kata suami saya: Orang kadang komentar body shaming begitu nggak dipikir. Mereka murni guyonan, daripada nggak ada yang diobrolin, jadilah bentuk fisik lawan bicara yang diomongin.
Trus, apakah dengan begitu semua orang bebas mengolok-olok bentuk fisik orang lainnya? Hanya karena alasan ‘daripada nggak ada yang diobrolin’ orang jadi bebas menyakiti perasaan sesamanya?
Dan yang menyebalkan, kebanyakan orang melakukan body shaming dengan alasan : Becanda.
“Ya ampun, mbak, woles aja sih. Becanda kale..”
“Mbak, bisa nggak sih nggak baper? Cuma becanda ini loh”
Dan banyak alasan lainnya, yang membuat siapa saja korban body shaming malas menanggapi.

Artis Putri Titian pun jengah menghadapi rongrongan diet dari netizen.
Kawan, please, jika kita sampai saat ini masih melakukan hal itu pada lawan bicara: please, stop it.
Apa yang hendak kita tuju?
Basa-basi? Kan bisa cari topik obrolan lain
Becanda? Apa sudah sebegitunya kehabisan bahan candaan, sampai kekurangan fisik orang lain kudu banget diomongin?
Biar kelihatan lebih unggul dari orang lain? coba ambil kaca yang besar, lalu mari kita melihat bayangan diri kita di cermin. Adakah kita memang jauh lebih baik daripada orang yang kita sebut gendut atau tua tadi?
Jangan-jangan kalau dibandingkan secara menyeluruh, kita ini nggak ada apa-apanya dibandingkan dia.
Bayi artis tadi, mbak penyanyi A, Bowo, hingga apa yang saya alami, hanya sebagian kecil dari kasus body shaming yang entah kenapa manusia masa kini gemar melakukannya.
Mari hentikan mengomentari kekurangan fisik orang lain mulai dari sekarang. Keuntungan yang kita peroleh tidak seberapa, tapi kita sudah menggores luka di hati seseorang meski tidak terucapkan.
Kita bisa jadi segera lupa pernah berkomentar apa. Tapi yang mendengar, tak akan pernah lupa mulut kita pernah bicara apa padanya.