Saat masih jadi remaja gaul, saya memandang wanita berjilbab dengan sebelah mata. Bagi saya, mereka tidak asik, tidak pandai bergaul, tidak cantik.
Saat saya akhirnya paham bahwa menutup aurat itu wajib (sebatas paham, tapi pakaian masih tetap pendek) saya mulai mengalami pergeseran pandangan: Hebat ya orang berjilbab itu. Bisa menutup aurat, nggak kaya saya bergelimang dosa. Kapan saya bisa seperti itu?
Saat saya akhirnya pakai jilbab, dan masih berusaha gaul dengan tetap pakai jeans, saya bisa tersenyum bangga kalau bertemu remaja gaul tanpa penutup kepala: ‘Alhamdulillah… aku udah berani pakai jilbab. Kamu kapan?’
Saat saya yang nge-jeans ini bertemu ‘akhwat’ muslimah berjilbab lebar, saya berfikir: Duh, aku nggak mau fanatik begitu. Jadi muslimah biasa-biasa aja. Yang penting menutup aurat.
Saat saya akhirnya paham bahwa menutup aurat pun ada kaidah dan tuntunan, saya jadi memandang ‘akhwat’ muslimah dengan berbeda: Hebat ya, berani menutup aurat dengan sempurna. Aku seharusnya meneladani itu.
Saat saya akhirnya menutup aurat sesuai kaidah, saya melihat jilbaber punuk unta dan jilbaber jeans pensil dengan setengah mata: ‘Niat jilbaban apa nggak sih sebenarnya?’
Saat saya naik level, dan masuk ke dalam golongan aktivis, ketika bertemu orang yang berjilbab hanya demi ‘menggugurkan kewajiban’ namun tidak berusaha memperjuangkan agama, saya melihat dengan tatapan iba. ‘Mengapa hidup yang cuma sekali kau sia-siakan?’
Ketika saya akhirnya tidak lagi menjadi aktivis, saya mengumpulkan lagi semua sudut pandang itu. Lalu tertegun.
Ketika masih ‘buruk’ saya memandang kebaikan dengan sinis.
Ketika sudah ‘baik’, saya memandang keburukan pun dengan sinis. Lupa bahwa dulu saya pernah berada di golongan itu, dan diri saya bertahun-tahun lalu memandang diri saya sendiri di saat sekarang, tak kalah sinisnya.
Itu lah sudut pandang. Di level mana pun kita, kita selalu punya kuasa untuk menghukumi orang lain sesuai sudut pandang kita.
Kita menilai orang lain semata-mata berdasarkan bagaimana kecenderungan pikiran kita sendiri.
Dan lupa bahwa orang lain itu, dengan sudut pandangnya, bisa pula menghukumi kita dengan pikirannya yang berbeda.
Maka bagaimana kalau sekarang kita ambil jalan tengah saja.
Pandanglah orang lain sewajarnya. Tidak perlu dikuliti sebab hanya akan membuat kita tampak buruknya.

Via: nownovel.com